Minggu, 01 November 2015

Kritik Sastra



DETAK BAHASA PUISI SAPARDI

Puisi I
MUARA
Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunung, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan.” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkannya ia berkata, “Tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki sisa-sisa ini untukmu.”
Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia terapung di muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara ribut, “Tidak! Bukan aku yang memberinya isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukmu, tidaklah sedalam …”
(Sapardi Djoko Damono, 1973)

       Muara, tempat berakhirnya aliran sungai di lautan. Sebagaimana yang digambarkan oleh Sapardi dalam bait puisi di atas. Sapardi Djoko Damono, penyair kontemporer yang selalu mampu menyihir kita dengan kepiawaiannya dalam menyuguhkan karya-karyanya. Dari puisinya yang berjudul “Muara”, salah satu dari antologi puisi Hujan Bulan Juni ini mengungkapkan tentang sebuah muara dan lautan yang ia jadikan sebagai simbol kuat dalam puisinya. Diibaaratkannya kedua tempat tersebut merupakan sepasang manusia yang saling berhubungan.
       Semua karya sastra memanglah tidak pernah akan terlepas dari pengarang itu sendiri. Begitu juga dengan karya sastra berupa puisi. Tidak pernah mungkin tidak ada maksud dari terlahirnya sebuah karya sastra. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa karya dilahirkan untuk kita nikmati. Begitu juga dengan sebuah puisi, tak perlu tahu dan tak perlu paham untuk dapat menikmati sebuah karya puisi. Ibarat kita mendengarkan lagu Bollywood, tak perlu kita memahami maknanya untuk kita dapat menikmati lagu tersebut. Keindahan adalah nilai terpenting dari sebuah karya puisi.
       Membaca puisi yang berjudul “Muara” tersebut, sebenarnya tidak seratus persen saya dapat memahami apa yang sebenarya ingin disampaikan oleh Sapardi lewat puisinya itu. Namun, jika dalam tataran menikmati, saya sangatlah menikmati bait-bait indah tersebut. Apa mau dikata, mau tidak mau saya harus bisa menguak pesan yang hendak disampaikan oleh Sapardi untuk saya dapat menuliskan celotehan dalam kertas ini.
       Ya, sekali dua kali tidaklah cukup untuk saya dapat mengkritisi sebuah karya yang luar biasa ini. berulang kali saya kembali mencoba memasuki labirin bait-bait indah karya Sapardi tersebut. Sajak Sapardi ini menunjukkan hasil olah kreativitas yang tak terbatas, manawarkan estetika yang terjaga dan terpelihara, serta menawarkan lanskap makna yang sungguh tak terkira, godaan keindahan melalui misteri dan pesona kata, serta terus mengajak saya untuk berpetualang menyusuri setiap celah-celah sajaknya.
       Sapardi berhasil menggodaku dengan sajaknya yang enak dibaca dan menawarkan aneka lanskap kontemplasi. Coba kita perhatikan cara Sapardi memberikan simbol muara dengan lautan. Semua titel dan tajuk yang diberikan menampilkan simbolisasi atau setidaknya isyarat tentang berbagai ikhwal pemikiran pengarang. Mari kita tengok pada kalimat pertama yang berbunyi “Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap”. Dari sanalah kita dapat menafsirkan bahwa puisi tersebut mengindikasikan sebuah isyarat pewartaan tentang sepasang kekasih yang menjalin sebuah hubungan dalam sifat yang berbeda. Hingga pada suatu saat timbulah sifat kemunafikan manusia bahwa segala kesalahan itu selalu dilandaskan akan ketidaksengajaan.
       Seperti itulah, puisi ini memang hadir dengan suguhan cerita yang bermakna begitu dalam. Hingga pembaca merasa kesulitan dalam menafsifkan pesan yang ingin disampaikan oleh Sapardi. Layaknya saya, beranjak pada bait yang kedua puisi ini sangat susah ditebak apa sebenarnya maksud dari “bangkai banusia” itu? Puisi memang diciptakan dengan kebebasaan yang penuh. Sebagaimana puisi ini. Jika kita perhatikan lebih saksama lagi, pada bait yang kedua itu pengarang terlalu memaksakan untuk menjadikan bait tersebut menjadi satu kalimat utuh. Hal itu mungkin akan mengganggu pembaca dalam mengatur pernapasan.
       Ternyata tidak hanya puisi yang berjudul “Muara” saja yang mampu menyihirku dengan pilihan kata-kata yang begitu indah, hingga membuatku terpukau. Lagi-lagi bertemakan cinta, ia seperti puisi yang berjudul “Pada Suatu Pagi Hari” salah satu puisi dari antologinya yang berjudul Hujan Bulan Juni.

Puisi II
PADA SUATU PAGI HARI

Maka pada suau pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang longrong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar   tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

       Sempurna, membaca puisi ini saya dibuat hanyut oleh Sapardi. Sederhana namun tetap indah dan bermakna dalam. Ya, kiranya seperti itu puisi yang ditulis Sapardi ini. Mengisahkan perasaan pengarang yang begitu amat sedih, ingin rasanya pengarang meluapkan rasa sedihnya dengan berbagai cara. Namun, pengarang hanya ingin menangis di tengah-tengah rintik-rintik hujan pada suatu lorong. Membuat air matanya tersamarkan oleh rintikan hujan tadi. Dengan demikian, tidak ada satu orangpun tahu bahwa ia sedang menangis dan tidak ada satu orangpun akan mengganggunya dengan keingintahuan.
       Seperti itulah pesan yang ingin diutarakan oleh Sapardi lewat puisinya. Dengan tidak bertele-tele Sapardi mengungkapkan fenomena kehidupan itu, namun pembaca tetap terjada untuk menikmatinya. Puisi ini memanglah benar-benar mampu menyugesti kita untuk mengatakan “iya”, seperti itulah yang ingin saya lakukan ketika rasa sedih itu menimpaku. Diksi yang digunakan olah Sapardi tersebut mampu melahirkan kesesuaian hubungan kata-katanya, sehingga dapat menciptakan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubugan semantisnya. Itulah bukti bahwa bahasa-bahasa yang dipilih oleh Sapardi mempu menghadirkan detak, atau kehidupan dibalik tatanan kata-kata yang ia susun rapi.
     Dengan demikian, kata-kata yang dipilih oleh Sapardi memang selalu disusun dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga mampu menimbulkan imaginasi estetik pada diri pembaca. Akan tetapi, kesederhanaan Sapardi dalam memilih kata-kata dalam puisnya itu, juga berkemungkinan malah menimbulkan kesan yang biasa-biasa saja pada diri pembaca. Terlebih jika puisi tersebut dibacakan tanpa rasa yang sepenuhnya. Selain itu, dalam puisi ini pengarang terlihat kurang mengekspresikan pesannya secara unik dan menarik seperti puisi pertama sebelumnya. Saya juga tidak dapat menemukan intensifikasi pengarang dalam menghadirkan puisi ini. 


Yogyakarta,  27 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar