DETAK BAHASA PUISI SAPARDI
Puisi I
MUARA
Muara yang tak pernah pasti
sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari
gunung, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan.” Kalau
hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkannya ia berkata, “Tentu saja bukan
maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tak menghendaki
sisa-sisa ini untukmu.”
Dan ketika pada suatu hari
ada bangkai manusia terapung di muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan
tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara ribut, “Tidak! Bukan aku yang memberinya
isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata,
membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya
sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukmu, tidaklah sedalam …”
(Sapardi Djoko Damono, 1973)
Muara, tempat berakhirnya aliran sungai
di lautan. Sebagaimana yang digambarkan oleh Sapardi dalam bait puisi di atas. Sapardi
Djoko Damono, penyair kontemporer yang selalu mampu menyihir kita dengan
kepiawaiannya dalam menyuguhkan karya-karyanya. Dari puisinya yang berjudul
“Muara”, salah satu dari antologi puisi Hujan
Bulan Juni ini mengungkapkan tentang sebuah muara dan lautan yang ia jadikan
sebagai simbol kuat dalam puisinya. Diibaaratkannya kedua tempat tersebut
merupakan sepasang manusia yang saling berhubungan.
Semua karya sastra memanglah tidak
pernah akan terlepas dari pengarang itu sendiri. Begitu juga dengan karya
sastra berupa puisi. Tidak pernah mungkin tidak ada maksud dari terlahirnya
sebuah karya sastra. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa karya dilahirkan untuk
kita nikmati. Begitu juga dengan sebuah puisi, tak perlu tahu dan tak perlu
paham untuk dapat menikmati sebuah karya puisi. Ibarat kita mendengarkan lagu Bollywood, tak perlu kita memahami
maknanya untuk kita dapat menikmati lagu tersebut. Keindahan adalah nilai
terpenting dari sebuah karya puisi.
Membaca puisi yang berjudul “Muara”
tersebut, sebenarnya tidak seratus persen saya dapat memahami apa yang
sebenarya ingin disampaikan oleh Sapardi lewat puisinya itu. Namun, jika dalam
tataran menikmati, saya sangatlah menikmati bait-bait indah tersebut. Apa mau
dikata, mau tidak mau saya harus bisa menguak pesan yang hendak disampaikan
oleh Sapardi untuk saya dapat menuliskan celotehan dalam kertas ini.
Ya, sekali dua kali tidaklah cukup untuk
saya dapat mengkritisi sebuah karya yang luar biasa ini. berulang kali saya
kembali mencoba memasuki labirin bait-bait indah karya Sapardi tersebut. Sajak
Sapardi ini menunjukkan hasil olah kreativitas yang tak terbatas, manawarkan
estetika yang terjaga dan terpelihara, serta menawarkan lanskap makna yang
sungguh tak terkira, godaan keindahan melalui misteri dan pesona kata, serta
terus mengajak saya untuk berpetualang menyusuri setiap celah-celah sajaknya.
Sapardi berhasil menggodaku dengan
sajaknya yang enak dibaca dan menawarkan aneka lanskap kontemplasi. Coba kita
perhatikan cara Sapardi memberikan simbol muara dengan lautan. Semua titel dan
tajuk yang diberikan menampilkan simbolisasi atau setidaknya isyarat tentang
berbagai ikhwal pemikiran pengarang. Mari kita tengok pada kalimat pertama yang
berbunyi “Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap”.
Dari sanalah kita dapat menafsirkan bahwa puisi tersebut mengindikasikan sebuah
isyarat pewartaan tentang sepasang kekasih yang menjalin sebuah hubungan dalam
sifat yang berbeda. Hingga pada suatu saat timbulah sifat kemunafikan manusia bahwa
segala kesalahan itu selalu dilandaskan akan ketidaksengajaan.
Seperti itulah, puisi ini memang hadir
dengan suguhan cerita yang bermakna begitu dalam. Hingga pembaca merasa
kesulitan dalam menafsifkan pesan yang ingin disampaikan oleh Sapardi. Layaknya
saya, beranjak pada bait yang kedua puisi ini sangat susah ditebak apa
sebenarnya maksud dari “bangkai banusia” itu? Puisi memang diciptakan dengan
kebebasaan yang penuh. Sebagaimana puisi ini. Jika kita perhatikan lebih
saksama lagi, pada bait yang kedua itu pengarang terlalu memaksakan untuk
menjadikan bait tersebut menjadi satu kalimat utuh. Hal itu mungkin akan
mengganggu pembaca dalam mengatur pernapasan.
Ternyata tidak hanya puisi yang berjudul
“Muara” saja yang mampu menyihirku dengan pilihan kata-kata yang begitu indah,
hingga membuatku terpukau. Lagi-lagi bertemakan cinta, ia seperti puisi yang
berjudul “Pada Suatu Pagi Hari” salah satu puisi dari antologinya yang berjudul
Hujan Bulan Juni.
Puisi II
PADA SUATU
PAGI HARI
Maka pada suau pagi hari ia
ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang longrong itu. Ia ingin
pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar bisa berjalan sendiri
saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin
menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih
saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada
suatu pagi.
Sempurna, membaca puisi ini saya dibuat
hanyut oleh Sapardi. Sederhana namun tetap indah dan bermakna dalam. Ya,
kiranya seperti itu puisi yang ditulis Sapardi ini. Mengisahkan perasaan pengarang
yang begitu amat sedih, ingin rasanya pengarang meluapkan rasa sedihnya dengan
berbagai cara. Namun, pengarang hanya ingin menangis di tengah-tengah
rintik-rintik hujan pada suatu lorong. Membuat air matanya tersamarkan oleh
rintikan hujan tadi. Dengan demikian, tidak ada satu orangpun tahu bahwa ia
sedang menangis dan tidak ada satu orangpun akan mengganggunya dengan
keingintahuan.
Seperti itulah pesan yang ingin
diutarakan oleh Sapardi lewat puisinya. Dengan tidak bertele-tele Sapardi
mengungkapkan fenomena kehidupan itu, namun pembaca tetap terjada untuk
menikmatinya. Puisi ini memanglah benar-benar mampu menyugesti kita untuk
mengatakan “iya”, seperti itulah yang ingin saya lakukan ketika rasa sedih itu
menimpaku. Diksi yang digunakan olah Sapardi tersebut mampu melahirkan
kesesuaian hubungan kata-katanya, sehingga dapat menciptakan keseimbangan
paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubugan semantisnya. Itulah bukti bahwa
bahasa-bahasa yang dipilih oleh Sapardi mempu menghadirkan detak, atau
kehidupan dibalik tatanan kata-kata yang ia susun rapi.
Dengan demikian, kata-kata yang dipilih
oleh Sapardi memang selalu disusun dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga
mampu menimbulkan imaginasi estetik pada diri pembaca. Akan tetapi,
kesederhanaan Sapardi dalam memilih kata-kata dalam puisnya itu, juga
berkemungkinan malah menimbulkan kesan yang biasa-biasa saja pada diri pembaca.
Terlebih jika puisi tersebut dibacakan tanpa rasa yang sepenuhnya. Selain itu,
dalam puisi ini pengarang terlihat kurang mengekspresikan pesannya secara unik
dan menarik seperti puisi pertama sebelumnya. Saya juga tidak dapat menemukan
intensifikasi pengarang dalam menghadirkan puisi ini.
Yogyakarta, 27 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar