Selasa, 05 Januari 2016





PERGOLAKAN EKS PARASIT LAJANG

“Tapi, percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang lelaki dan perempuan. Yaitu, bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proprsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tidak untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari itu, aku tetap mengatakannya: itu sungguh tidak benar dan tidak adil.” (PEPL, hal 151-152)

      “Itu sungguh tidak benar dan tidak adil!” kebenaran dan keadilan yang selalu ingin dikupas tuntas oleh Ayu Utami dalam novel autobiografinya yang berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang. Berbicara masalah keadilan membuat saya kembali meraba-raba sekelumit masalah yang menyangkutpautkan keadilan. Sekelumit? agaknya salah jika saya memilih kata itu untuk membahas keadilan, ah lupakan.  Bukankah memang masalah keadilan kita begitu rumit?  
Mungkin itu yang menjadikan sosok A selalu dibuat geram dengan kompromi keadilan. Terlebih keadilan perempuan, perempuan yang harus memposisikan diri mereka selalu lebih rendah dari lelaki dalam segala hal. Tokoh A begitu muak dengan nilai-nilai masyarakat yang mengharuskannya patuh dan menjunjung lelakinya. Ya, seperti adat jawa, perempuan harus mecium tangan suaminya di depan umum, perempuan harus membasuh kaki suaminya di depan orang-orang. Namun, kenapa sang lelaki tidak juga demikian? Dari situlah tokoh A berusaha memutarbalikkan nilai-nilai tadi.
Membaca triloginya yang ketiga ini, saya harus mengakui kepiawaian Ayu dalam caranya bernarasi. Tak hanya karya ini sebenarnya, dari karya-karyanya yang lain pun saya berhasil dibuatnya tercengang. Seperti kedua karya sebelumnya yaitu Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico. Nah, novel ini sebenarnya dihadirkan oleh Ayu untuk memberikan pengakuan terhadap para pembacanya mengapa ia kemudian memilih untuk menikah. Dari situlah saya dibuat bingung oleh Ayu. Saya merasa ada inkonsistensi dari gagasan-gagasan yang sudah ia ciptakan sendiri sebelumnya.
Kita mulai dari awal saja. Bermula dari anggapannya yang mengatakan bahwa perempuan hanyalah objek bagi lelaki dan strata perempuan selalu berada pada satu level lebih rendah dari lelaki. Tokoh A mencoba melahirkan paradogma baru untuk mematahkan mitos keperawanan yang selama ini hidup di masyarakat. Bukankah perempuan itu bukan botol Aqua yang bersegel dan jika pembelinya mendapatkan segel itu rusak lalu Aqua itu akan dikembalikan? Alangkah busuk pemikiran mereka.
Lalu, bagaimana dengan perjaka yang sudah tidak jaka? Digalakannya tes keperawanan, kenapa tidak pula tes keperjakaan? Secara langsung, saya sangat setuju dengan konsep yang dihadirkan itu. Bukan kemudian karena saya perempuan lalu mencari pembelaan dan bukan pula berarti saya sudah tidak perawan lo ya. Dari situlah, membuat saya meninggalkan pesan dibelakang kepala saya bahwa betapa dangkalnya keperawanan itu dipercaya sebagai suatu standar kebaikan. Jika begitu keadaannya, yang sudah tidak perawan bukan perempuan baik-baik dong ya? Tentunya bagi yang belum bersuami ??
Dibalik itu semua tokoh A hanya menginginkan kebebasan dalam hidupnya tanpa adanya dogma-dogma yang berusaha membatasinya. Akan tetapi, konsep kebebasan yang disajikan oleh tokoh A di sini agak membuat saya bingung. Bahkan boleh dikatakan saya tidak setuju dengannya. Tepat pada umur 20 tahun, tokoh A melepas keperawanannya. Ia melakukan hubungan badan yang pertama kalinya dengan lelaki pertama yang sangat ia kagumi yaitu Nik. Mereka menjalin hubungan hingga beberapa tahun.
Dalam masalah percintaannya, tokoh A memutuskan untuk tidak menjadi perempuan yang setia. Peselingkuh, tepatnya seperti itu. Ia melakukan hubungan seks dengan banyak lelaki. Dari konsep kebebasannya tadi, tokoh A memutuskan untuk menjadi parasit lajang. Tokoh A memilih untuk tidak menikah, karena ia tidak ingin memiliki ikatan dengan lelaki mana pun. Ia tidak ingin menjadi perempuan yang hendak diatur oleh lelaki. Ia tidak rela jika harus ada kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga dan itu lelaki. Intinya tokoh A tidak ingin menikah!
Memang tidak benar jika masalah keperawanan selalu diagung-agungkan untuk menjadi takaran yang baik dan buruk. Bukan masalah pula jika tokoh A memutuskan untuk tidak menikah. Bukankah menikah itu adalah pilihan? hanya lebih baik memang kita menikah. Saya kira demikian dalam ajaran agama. Tidaklah salah menjadi lajang, hanya saja saya tidak setuju dengan perlawanan yang dipilih oleh tokoh A untuk menjadi peselingkuh dan maniak seks. Jika memanglah demikian keadaannya saya dapat menarik benang merahnya bahwa secara tidak langsung tokoh A juga membutuhkan keberadaan lelaki dalam hidupnya. Benar bukan? Kalau perempuan bisa segalanya buat apa lelaki?
Kembali lagi kepada masalah keadilan. Sejak Awal tokoh A berkeinginan untuk membebaskan keadilan dan membenarkan keadilan yang sebenar-benarnya. Namun, ketika saya merunut pilihan tokoh A bahwa ia akan menjadi peselingkuh, menurut saya itu bukan tindakan untuk mewujudkan keadilan. Bagaimana tidak? Ia memutuskan pacar pertamanya dengan alasan yang tidak logis yang ia sendiri juga menyadarinya. Itu bukanlah sebuah keadilan, tapi kemunafikan. Bukan hanya itu, tokoh A juga melakukan perselingkuhan dengan lelaki yang sudah beristeri.  Betapa tidak adilnya, dogma yang diciptakan seseorang justru membuat pihak lain merasa tersakiti. Ya, kembali lagi, tokoh A hanyalah manusia biasa layaknya kita.
Ayu Utami, memang benar jika ia merupakan salah satu pengarang wanita yang berani mendobrak kemapanan. Keberaniannya dalam mengungkapkan segala sesuatu yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat mampu ia sajikan dalam cerita yang begitu apik. Revolusi, kejujuran total, advokasi ia kupas dalam ceritanya dengan sangat tajam. Begitu juga yang membuat novel ini menjadi janggal karena ditulis oleh pengarang perempuan seperti Ayu. Mungkin akan lain ceritanya jika narasi ini disajikan oleh pengarang laki-laki.
Dari novel ini tokoh A diceritakan sebagai seorang penganut agama yang taat. Ia rajin membaca alkitab, ia rajin pergi ke gereja, ia juga rajin sembahyang. Tokoh A mengaku bahwa banyak kebaikan yang bersumber dari agama. Namun, nilai-nilai yang telah mendeskriditkan perempuan dengan ketidakakrabannya terhadap perempuan itu juga berasal dari agama. Lagi-lagi saya harus akui tentang konsep berpikir kritis yang begitu ketat ia sodorkan dalam cerita ini. Membuat kita belajar untuk meradikalisasikan semua nilai-nilai yang sudah dicekokkan dalam pikiran kita, sehingga saya lebih bisa menikmati novel ini bak anomali kehidupan.
Ketika membaca novel ini, hal yang sangat membuat saya tertarik adalah pada bagian pembahasan seks yang Ayu sajikan. Penyampaiannya yang begitu humoris, satir, apik, itulah yang menjadi keluwesan Ayu yang tidak dimiliki pengarang lain. Namun, ada satu bagian yang membuat saya kecewa, yaitu ketika Ayu menceritakan kelincahannya dalam bersetubuh dengan kondisi mobil berjalan. Jujur saya dibuatnya bingung, tertawa, dan penasaran. Entah bagaimana itu caranya?  Namun sayang, ketika saya mengharapkan penjelasan lebih pada bagian itu justru Ayu memenggalnya begitu saja. Selain itu saja juga dibuatnya menjadi gila ketika membaca pada bagian-game Game, di mana kita diajak untuk memasuki pikiran tokoh A lebih dalam dan dalam lagi.
Terharu dan bingung, itu yang saya rasakan ketika mengetahui bahwa pada akhirnya pun tokoh A menikah juga dengan Rik. Bingung, disitulah saya menemukan inkonsistensi dari gagasan-gagasan yang diciptakannya. Terharu, entah bagaimana saat itu saya seolah-olah ikut merasakan pergolakan yang dihadapi oleh tokoh A. Sudah barang jelas jika dengan keputusannya itu ia akan dicibir para pembacanya. Namun, saya bangga dengan pengarang satu ini. Ayu mampu memberikan penjelasan yang begitu dalam tentang mengapa pada akhirnya ia memilih untuk mengambil jalan pernikahan. Meskipun jujur saya sendiri masih belum mampu mengikuti alur konsep yang ia hadirkan dalam pengakuannya ini.
Tidak hanya sekali baca untuk saya dapat mencerna cerita ini. Perlahan namun pasti saya berusaha mencoba menerobos gagasan-gagasan yang dihadirkan oleh Ayu. Membaca novel ini mengingatkan saya pada novel yang berjudul Dunia Shopie, di situ saya belajar berpikir keras mengenai suguhan-suguhan filsafatnya. Jika kita melihat kasus ini pada kehidupan masyarakat nyata, pasti akan menimbulkan kecurigaan dengan perempuan yang sebegitu beraninya dan sebegitu bebasnya. Akan tetapi, di situlah justru Ayu ingin mengatakan bahwa perempuan memiliki pilihan, tapi bukanlah objek yang bisa ditentukan dengan seenaknya. Dengan takjub saya akui keberaniannya dalam mengutarakan pendapatnya tanpa takut akan kebebasan. Dengan konsisten Ayu tidak mengasosiasikan kebebasaannya. Ingat, novel ini adalah autobiografi pengarangnya yang dalam tokohnya ia ciptakan sebagai perempuan yang bernama A, Ayu Utami mungkin.

Tri Wahyuni
Yogyakarta, 24 Desember 2015