PERGOLAKAN
EKS PARASIT LAJANG
“Tapi, percakapan hari itu memberiku pelajaran
besar tentang lelaki dan perempuan. Yaitu, bahwa ada yang tidak beres dengan
nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan.
Lelaki dibebani tuntutan tidak proprsional untuk menjadi lebih dari perempuan.
Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tidak
untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan
tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari itu, aku tetap mengatakannya: itu
sungguh tidak benar dan tidak adil.” (PEPL,
hal 151-152)
“Itu sungguh tidak benar dan tidak adil!” kebenaran dan keadilan yang
selalu ingin dikupas tuntas oleh Ayu Utami dalam novel autobiografinya yang
berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang.
Berbicara masalah keadilan membuat saya kembali meraba-raba sekelumit masalah
yang menyangkutpautkan keadilan. Sekelumit? agaknya salah jika saya memilih
kata itu untuk membahas keadilan, ah lupakan.
Bukankah memang masalah keadilan kita begitu rumit?
Mungkin itu yang
menjadikan sosok A selalu dibuat geram dengan kompromi keadilan. Terlebih
keadilan perempuan, perempuan yang harus memposisikan diri mereka selalu lebih
rendah dari lelaki dalam segala hal. Tokoh A begitu muak dengan nilai-nilai
masyarakat yang mengharuskannya patuh dan menjunjung lelakinya. Ya, seperti
adat jawa, perempuan harus mecium tangan suaminya di depan umum, perempuan
harus membasuh kaki suaminya di depan orang-orang. Namun, kenapa sang lelaki
tidak juga demikian? Dari situlah tokoh A berusaha memutarbalikkan nilai-nilai
tadi.
Membaca triloginya yang
ketiga ini, saya harus mengakui kepiawaian Ayu dalam caranya bernarasi. Tak
hanya karya ini sebenarnya, dari karya-karyanya yang lain pun saya berhasil
dibuatnya tercengang. Seperti kedua karya sebelumnya yaitu Si Parasit Lajang dan Cerita
Cinta Enrico. Nah, novel ini sebenarnya dihadirkan oleh Ayu untuk memberikan
pengakuan terhadap para pembacanya mengapa ia kemudian memilih untuk menikah. Dari
situlah saya dibuat bingung oleh Ayu. Saya merasa ada inkonsistensi dari gagasan-gagasan
yang sudah ia ciptakan sendiri sebelumnya.
Kita mulai dari awal
saja. Bermula dari anggapannya yang mengatakan bahwa perempuan hanyalah objek
bagi lelaki dan strata perempuan selalu berada pada satu level lebih rendah
dari lelaki. Tokoh A mencoba melahirkan paradogma baru
untuk mematahkan mitos keperawanan yang selama ini hidup di masyarakat. Bukankah
perempuan itu bukan botol Aqua yang bersegel dan jika pembelinya mendapatkan
segel itu rusak lalu Aqua itu akan dikembalikan? Alangkah busuk pemikiran
mereka.
Lalu, bagaimana dengan
perjaka yang sudah tidak jaka? Digalakannya tes keperawanan, kenapa tidak pula
tes keperjakaan? Secara langsung, saya sangat setuju dengan konsep yang
dihadirkan itu. Bukan kemudian karena saya perempuan lalu mencari pembelaan dan
bukan pula berarti saya sudah tidak perawan lo ya. Dari situlah, membuat saya
meninggalkan pesan dibelakang kepala saya bahwa betapa dangkalnya keperawanan
itu dipercaya sebagai suatu standar kebaikan. Jika begitu keadaannya, yang
sudah tidak perawan bukan perempuan baik-baik dong ya? Tentunya bagi yang belum
bersuami ??
Dibalik itu semua tokoh
A hanya menginginkan kebebasan dalam hidupnya tanpa adanya dogma-dogma yang
berusaha membatasinya. Akan tetapi, konsep kebebasan yang disajikan oleh tokoh
A di sini agak membuat saya bingung. Bahkan boleh dikatakan saya tidak setuju
dengannya. Tepat pada umur 20 tahun, tokoh A melepas keperawanannya. Ia
melakukan hubungan badan yang pertama kalinya dengan lelaki pertama yang sangat
ia kagumi yaitu Nik. Mereka menjalin hubungan hingga beberapa tahun.
Dalam masalah
percintaannya, tokoh A memutuskan untuk tidak menjadi perempuan yang setia. Peselingkuh,
tepatnya seperti itu. Ia melakukan hubungan seks dengan banyak lelaki. Dari
konsep kebebasannya tadi, tokoh A memutuskan untuk menjadi parasit lajang. Tokoh
A memilih untuk tidak menikah, karena ia tidak ingin memiliki ikatan dengan
lelaki mana pun. Ia tidak ingin menjadi perempuan yang hendak diatur oleh
lelaki. Ia tidak rela jika harus ada kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga
dan itu lelaki. Intinya tokoh A tidak ingin menikah!
Memang tidak benar jika
masalah keperawanan selalu diagung-agungkan untuk menjadi takaran yang baik dan
buruk. Bukan masalah pula jika tokoh A memutuskan untuk tidak menikah. Bukankah
menikah itu adalah pilihan? hanya lebih baik memang kita menikah. Saya kira
demikian dalam ajaran agama. Tidaklah salah menjadi lajang, hanya saja saya tidak setuju dengan perlawanan yang dipilih
oleh tokoh A untuk menjadi peselingkuh dan maniak seks. Jika memanglah demikian
keadaannya saya dapat menarik benang merahnya bahwa secara tidak langsung tokoh
A juga membutuhkan keberadaan lelaki dalam hidupnya. Benar bukan? Kalau
perempuan bisa segalanya buat apa lelaki?
Kembali lagi kepada
masalah keadilan. Sejak Awal tokoh A berkeinginan untuk membebaskan keadilan
dan membenarkan keadilan yang sebenar-benarnya. Namun, ketika saya merunut
pilihan tokoh A bahwa ia akan menjadi peselingkuh, menurut saya itu bukan
tindakan untuk mewujudkan keadilan. Bagaimana tidak? Ia memutuskan pacar
pertamanya dengan alasan yang tidak logis yang ia sendiri juga menyadarinya.
Itu bukanlah sebuah keadilan, tapi kemunafikan. Bukan hanya itu, tokoh A juga
melakukan perselingkuhan dengan lelaki yang sudah beristeri. Betapa tidak adilnya, dogma yang diciptakan
seseorang justru membuat pihak lain merasa tersakiti. Ya, kembali lagi, tokoh A
hanyalah manusia biasa layaknya kita.
Ayu Utami, memang benar
jika ia merupakan salah satu pengarang wanita yang berani mendobrak kemapanan. Keberaniannya
dalam mengungkapkan segala sesuatu yang selama ini dianggap tabu oleh
masyarakat mampu ia sajikan dalam cerita yang begitu apik. Revolusi, kejujuran
total, advokasi ia kupas dalam ceritanya dengan sangat tajam. Begitu juga yang
membuat novel ini menjadi janggal karena ditulis oleh pengarang perempuan
seperti Ayu. Mungkin akan lain ceritanya jika narasi ini disajikan oleh
pengarang laki-laki.
Dari novel ini tokoh A
diceritakan sebagai seorang penganut agama yang taat. Ia rajin membaca alkitab,
ia rajin pergi ke gereja, ia juga rajin sembahyang. Tokoh A mengaku bahwa
banyak kebaikan yang bersumber dari agama. Namun, nilai-nilai yang telah mendeskriditkan
perempuan dengan ketidakakrabannya terhadap perempuan itu juga berasal dari
agama. Lagi-lagi saya harus akui tentang konsep berpikir kritis yang begitu
ketat ia sodorkan dalam cerita ini. Membuat kita belajar untuk
meradikalisasikan semua nilai-nilai yang sudah dicekokkan dalam pikiran kita,
sehingga saya lebih bisa menikmati novel ini bak anomali kehidupan.
Ketika membaca novel
ini, hal yang sangat membuat saya tertarik adalah pada bagian pembahasan seks
yang Ayu sajikan. Penyampaiannya yang begitu humoris, satir, apik, itulah yang
menjadi keluwesan Ayu yang tidak dimiliki pengarang lain. Namun, ada satu
bagian yang membuat saya kecewa, yaitu ketika Ayu menceritakan kelincahannya
dalam bersetubuh dengan kondisi mobil berjalan. Jujur saya dibuatnya bingung,
tertawa, dan penasaran. Entah bagaimana itu caranya? Namun sayang, ketika saya mengharapkan
penjelasan lebih pada bagian itu justru Ayu memenggalnya begitu saja. Selain
itu saja juga dibuatnya menjadi gila ketika membaca pada bagian-game Game, di mana kita diajak untuk memasuki
pikiran tokoh A lebih dalam dan dalam lagi.
Terharu dan bingung,
itu yang saya rasakan ketika mengetahui bahwa pada akhirnya pun tokoh A menikah
juga dengan Rik. Bingung, disitulah saya menemukan inkonsistensi dari gagasan-gagasan
yang diciptakannya. Terharu, entah bagaimana saat itu saya seolah-olah ikut
merasakan pergolakan yang dihadapi oleh tokoh A. Sudah barang jelas jika dengan
keputusannya itu ia akan dicibir para pembacanya. Namun, saya bangga dengan
pengarang satu ini. Ayu mampu memberikan penjelasan yang begitu dalam tentang
mengapa pada akhirnya ia memilih untuk mengambil jalan pernikahan. Meskipun
jujur saya sendiri masih belum mampu mengikuti alur konsep yang ia hadirkan
dalam pengakuannya ini.
Tidak hanya sekali baca
untuk saya dapat mencerna cerita ini. Perlahan namun pasti saya berusaha
mencoba menerobos gagasan-gagasan yang dihadirkan oleh Ayu. Membaca novel ini
mengingatkan saya pada novel yang berjudul Dunia
Shopie, di situ saya belajar berpikir keras mengenai suguhan-suguhan
filsafatnya. Jika kita melihat kasus ini pada kehidupan masyarakat nyata, pasti
akan menimbulkan kecurigaan dengan perempuan yang sebegitu beraninya dan
sebegitu bebasnya. Akan tetapi, di situlah justru Ayu ingin mengatakan bahwa
perempuan memiliki pilihan, tapi bukanlah objek yang bisa ditentukan dengan
seenaknya. Dengan takjub saya akui keberaniannya dalam mengutarakan pendapatnya
tanpa takut akan kebebasan. Dengan konsisten Ayu tidak mengasosiasikan
kebebasaannya. Ingat, novel ini adalah autobiografi pengarangnya yang dalam
tokohnya ia ciptakan sebagai perempuan yang bernama A, Ayu Utami mungkin.
Tri
Wahyuni
Yogyakarta,
24 Desember 2015