Selasa, 05 Januari 2016





PERGOLAKAN EKS PARASIT LAJANG

“Tapi, percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang lelaki dan perempuan. Yaitu, bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proprsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tidak untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari itu, aku tetap mengatakannya: itu sungguh tidak benar dan tidak adil.” (PEPL, hal 151-152)

      “Itu sungguh tidak benar dan tidak adil!” kebenaran dan keadilan yang selalu ingin dikupas tuntas oleh Ayu Utami dalam novel autobiografinya yang berjudul Pengakuan Eks Parasit Lajang. Berbicara masalah keadilan membuat saya kembali meraba-raba sekelumit masalah yang menyangkutpautkan keadilan. Sekelumit? agaknya salah jika saya memilih kata itu untuk membahas keadilan, ah lupakan.  Bukankah memang masalah keadilan kita begitu rumit?  
Mungkin itu yang menjadikan sosok A selalu dibuat geram dengan kompromi keadilan. Terlebih keadilan perempuan, perempuan yang harus memposisikan diri mereka selalu lebih rendah dari lelaki dalam segala hal. Tokoh A begitu muak dengan nilai-nilai masyarakat yang mengharuskannya patuh dan menjunjung lelakinya. Ya, seperti adat jawa, perempuan harus mecium tangan suaminya di depan umum, perempuan harus membasuh kaki suaminya di depan orang-orang. Namun, kenapa sang lelaki tidak juga demikian? Dari situlah tokoh A berusaha memutarbalikkan nilai-nilai tadi.
Membaca triloginya yang ketiga ini, saya harus mengakui kepiawaian Ayu dalam caranya bernarasi. Tak hanya karya ini sebenarnya, dari karya-karyanya yang lain pun saya berhasil dibuatnya tercengang. Seperti kedua karya sebelumnya yaitu Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico. Nah, novel ini sebenarnya dihadirkan oleh Ayu untuk memberikan pengakuan terhadap para pembacanya mengapa ia kemudian memilih untuk menikah. Dari situlah saya dibuat bingung oleh Ayu. Saya merasa ada inkonsistensi dari gagasan-gagasan yang sudah ia ciptakan sendiri sebelumnya.
Kita mulai dari awal saja. Bermula dari anggapannya yang mengatakan bahwa perempuan hanyalah objek bagi lelaki dan strata perempuan selalu berada pada satu level lebih rendah dari lelaki. Tokoh A mencoba melahirkan paradogma baru untuk mematahkan mitos keperawanan yang selama ini hidup di masyarakat. Bukankah perempuan itu bukan botol Aqua yang bersegel dan jika pembelinya mendapatkan segel itu rusak lalu Aqua itu akan dikembalikan? Alangkah busuk pemikiran mereka.
Lalu, bagaimana dengan perjaka yang sudah tidak jaka? Digalakannya tes keperawanan, kenapa tidak pula tes keperjakaan? Secara langsung, saya sangat setuju dengan konsep yang dihadirkan itu. Bukan kemudian karena saya perempuan lalu mencari pembelaan dan bukan pula berarti saya sudah tidak perawan lo ya. Dari situlah, membuat saya meninggalkan pesan dibelakang kepala saya bahwa betapa dangkalnya keperawanan itu dipercaya sebagai suatu standar kebaikan. Jika begitu keadaannya, yang sudah tidak perawan bukan perempuan baik-baik dong ya? Tentunya bagi yang belum bersuami ??
Dibalik itu semua tokoh A hanya menginginkan kebebasan dalam hidupnya tanpa adanya dogma-dogma yang berusaha membatasinya. Akan tetapi, konsep kebebasan yang disajikan oleh tokoh A di sini agak membuat saya bingung. Bahkan boleh dikatakan saya tidak setuju dengannya. Tepat pada umur 20 tahun, tokoh A melepas keperawanannya. Ia melakukan hubungan badan yang pertama kalinya dengan lelaki pertama yang sangat ia kagumi yaitu Nik. Mereka menjalin hubungan hingga beberapa tahun.
Dalam masalah percintaannya, tokoh A memutuskan untuk tidak menjadi perempuan yang setia. Peselingkuh, tepatnya seperti itu. Ia melakukan hubungan seks dengan banyak lelaki. Dari konsep kebebasannya tadi, tokoh A memutuskan untuk menjadi parasit lajang. Tokoh A memilih untuk tidak menikah, karena ia tidak ingin memiliki ikatan dengan lelaki mana pun. Ia tidak ingin menjadi perempuan yang hendak diatur oleh lelaki. Ia tidak rela jika harus ada kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga dan itu lelaki. Intinya tokoh A tidak ingin menikah!
Memang tidak benar jika masalah keperawanan selalu diagung-agungkan untuk menjadi takaran yang baik dan buruk. Bukan masalah pula jika tokoh A memutuskan untuk tidak menikah. Bukankah menikah itu adalah pilihan? hanya lebih baik memang kita menikah. Saya kira demikian dalam ajaran agama. Tidaklah salah menjadi lajang, hanya saja saya tidak setuju dengan perlawanan yang dipilih oleh tokoh A untuk menjadi peselingkuh dan maniak seks. Jika memanglah demikian keadaannya saya dapat menarik benang merahnya bahwa secara tidak langsung tokoh A juga membutuhkan keberadaan lelaki dalam hidupnya. Benar bukan? Kalau perempuan bisa segalanya buat apa lelaki?
Kembali lagi kepada masalah keadilan. Sejak Awal tokoh A berkeinginan untuk membebaskan keadilan dan membenarkan keadilan yang sebenar-benarnya. Namun, ketika saya merunut pilihan tokoh A bahwa ia akan menjadi peselingkuh, menurut saya itu bukan tindakan untuk mewujudkan keadilan. Bagaimana tidak? Ia memutuskan pacar pertamanya dengan alasan yang tidak logis yang ia sendiri juga menyadarinya. Itu bukanlah sebuah keadilan, tapi kemunafikan. Bukan hanya itu, tokoh A juga melakukan perselingkuhan dengan lelaki yang sudah beristeri.  Betapa tidak adilnya, dogma yang diciptakan seseorang justru membuat pihak lain merasa tersakiti. Ya, kembali lagi, tokoh A hanyalah manusia biasa layaknya kita.
Ayu Utami, memang benar jika ia merupakan salah satu pengarang wanita yang berani mendobrak kemapanan. Keberaniannya dalam mengungkapkan segala sesuatu yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat mampu ia sajikan dalam cerita yang begitu apik. Revolusi, kejujuran total, advokasi ia kupas dalam ceritanya dengan sangat tajam. Begitu juga yang membuat novel ini menjadi janggal karena ditulis oleh pengarang perempuan seperti Ayu. Mungkin akan lain ceritanya jika narasi ini disajikan oleh pengarang laki-laki.
Dari novel ini tokoh A diceritakan sebagai seorang penganut agama yang taat. Ia rajin membaca alkitab, ia rajin pergi ke gereja, ia juga rajin sembahyang. Tokoh A mengaku bahwa banyak kebaikan yang bersumber dari agama. Namun, nilai-nilai yang telah mendeskriditkan perempuan dengan ketidakakrabannya terhadap perempuan itu juga berasal dari agama. Lagi-lagi saya harus akui tentang konsep berpikir kritis yang begitu ketat ia sodorkan dalam cerita ini. Membuat kita belajar untuk meradikalisasikan semua nilai-nilai yang sudah dicekokkan dalam pikiran kita, sehingga saya lebih bisa menikmati novel ini bak anomali kehidupan.
Ketika membaca novel ini, hal yang sangat membuat saya tertarik adalah pada bagian pembahasan seks yang Ayu sajikan. Penyampaiannya yang begitu humoris, satir, apik, itulah yang menjadi keluwesan Ayu yang tidak dimiliki pengarang lain. Namun, ada satu bagian yang membuat saya kecewa, yaitu ketika Ayu menceritakan kelincahannya dalam bersetubuh dengan kondisi mobil berjalan. Jujur saya dibuatnya bingung, tertawa, dan penasaran. Entah bagaimana itu caranya?  Namun sayang, ketika saya mengharapkan penjelasan lebih pada bagian itu justru Ayu memenggalnya begitu saja. Selain itu saja juga dibuatnya menjadi gila ketika membaca pada bagian-game Game, di mana kita diajak untuk memasuki pikiran tokoh A lebih dalam dan dalam lagi.
Terharu dan bingung, itu yang saya rasakan ketika mengetahui bahwa pada akhirnya pun tokoh A menikah juga dengan Rik. Bingung, disitulah saya menemukan inkonsistensi dari gagasan-gagasan yang diciptakannya. Terharu, entah bagaimana saat itu saya seolah-olah ikut merasakan pergolakan yang dihadapi oleh tokoh A. Sudah barang jelas jika dengan keputusannya itu ia akan dicibir para pembacanya. Namun, saya bangga dengan pengarang satu ini. Ayu mampu memberikan penjelasan yang begitu dalam tentang mengapa pada akhirnya ia memilih untuk mengambil jalan pernikahan. Meskipun jujur saya sendiri masih belum mampu mengikuti alur konsep yang ia hadirkan dalam pengakuannya ini.
Tidak hanya sekali baca untuk saya dapat mencerna cerita ini. Perlahan namun pasti saya berusaha mencoba menerobos gagasan-gagasan yang dihadirkan oleh Ayu. Membaca novel ini mengingatkan saya pada novel yang berjudul Dunia Shopie, di situ saya belajar berpikir keras mengenai suguhan-suguhan filsafatnya. Jika kita melihat kasus ini pada kehidupan masyarakat nyata, pasti akan menimbulkan kecurigaan dengan perempuan yang sebegitu beraninya dan sebegitu bebasnya. Akan tetapi, di situlah justru Ayu ingin mengatakan bahwa perempuan memiliki pilihan, tapi bukanlah objek yang bisa ditentukan dengan seenaknya. Dengan takjub saya akui keberaniannya dalam mengutarakan pendapatnya tanpa takut akan kebebasan. Dengan konsisten Ayu tidak mengasosiasikan kebebasaannya. Ingat, novel ini adalah autobiografi pengarangnya yang dalam tokohnya ia ciptakan sebagai perempuan yang bernama A, Ayu Utami mungkin.

Tri Wahyuni
Yogyakarta, 24 Desember 2015





Minggu, 01 November 2015

Poetry



Linguistik Cinta

Memang, kajian morfologi cintaku hanyalah unsur dari morfem {cinta}
namun, cintaku bukan hanya bait-bait fonologi yang indah
begitu juga dengan sintaksisnya, bukan sekedar susunan kata yang tak berarti
karena cintaku mengandung semantik yang tegas
cinta ini adalah satuan paling utama dalam gramatiknya
cinta ini berproses secara infleksi, yang tak akan pernah merubah makna cintaku padamu
kata cinta ini tidak akan dapat diissolir atau pun dipermutasikan darimu
terlebih untuk dianalisis. Tak kan dapat.

Analisis Puisi




SIMBOL ENERGI DALAM KUMPULAN PUISI HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Oleh Tri Wahyuni
  
Abstrak
       Penelitian mengenai salah satu kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damonon ini bertujuan untuk mengetahui adanya suatu simbol energi. Penelitian ini bersumber dari kumpulan puisi berjudul Hujan Bulan Juni. Dalam puisi tersebut terdapat sebanyak 102 buah puisi. Dari hasil penelitian, dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni ditemukan sebanyak 14 macam simbol energi dengan jumlah sebanyak 202 yang tersebar dalam kumpulan-kumpulan puisi tersebut. Simbol energi yang dihadirkan oleh pengarang tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek tersendiri yang mampu menghadirkan sebuah makna. Makna tersebut disampaikan dengan menggunakan suatu ketegori berpredikasi ada, menempati ruang, bergerak, dan bersifat lembam.

Kata kunci : puisi, simbol, energi.


A.    Latar Belakang
       Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang memiliki suatu kebebasan untuk mengungkapkannya sesuai dengan kondisi jiwa penulis. Dengan demikian puisi merupakan sebuah karya yang memiliki sinergi begitu kuat dengan kehidupan pengarangnya. Karena itulah puisi selalu hadir dan menjadi sesuatu yang penting dalam setiap perkembangan kehidupan ini. Terlebih untuk setiap pengarangnya, karena puisi merupakan hasil cipta dari suatu peristiwa yang berarti seperti yang diungkapkan oleh Percy Bys Shelly bahwa puisi adalah rekaman diri pada saat-saat yang paling baik, menyenangkan, dari pikiran-pikiran yang paling baik dan menyenangkan.
Setiap karya sastra puisi tidak pernah lepas dengan sebuah ciri dari pengarang karya tersebut yang mampu menghadirkan nilai khas tersendiri. Puisi yang mampu menciptakan keunikan, keindahan, kepentingan, dan mampu memberikan sebuah perbedaan, itulah puisi yang mampu bertahan. Karena itulah seorang sastrawan-sastrawan selalu memberikan sentuhan yang berbeda dalam setiap karya yang mereka ciptakan. Pembaharuan juga selalu dibutuhkan dalam puisi yang mampu mengiringi setiap perubahan cara pandang dalam dinamika kehidupan ini. karena pada hakekatnya bahwa puisi merupakan suatu kegiatan intelektual.
Puisi dan simbol merupakan dua hal yang saling berdampingan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Putu Arya Tirtawirya (1980:9), mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. Sebagaimana simbol energi yang begitu menonjol dalam kumpulan puisi yang berjudul Hujan Bulan Juni yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Sebuah simbol yang berpredikasi ada, menempati ruang, bergerak, dan bersifat lembam. Puisi-puisi tersebut merupakan kempulan dari sang penulis mulai dari tahun 1959 hingga 1994. Sebuah alasan tersendiri mengapa puisi-puisi tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dalam sebuah kumpulan. Dengan demikian, untuk mengungkapkan salah satu simbol yaitu simbol energi dalam kumpulan puisi tersebut, diharapkan mampu untuk menemukan pemahaman lebih dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni tersebut.


B.     Dasar Teori
       Charles Morris, mengatakan simbol adalah isyarat/ sign yang dihasilkan oleh seorang penafsir subuah signal dan berlaku sebagai ganti untuk signal itu, dan dengannya ia bersinonim. Simbol tidak pernah dapat dipisahkan dari penciptaan puisi oleh seorang penyair. dari simbol, maka pesan dan kesan yang akan disampaikan oleh penyair dapat tersampaikan. karena pada hakikatnya puisi merupakan karya bebas sehingga akan terlahir dalam berbagai macam bentuk, konkret atau pun abstrak. di situlah simbol akan berperan. Simbol energi dalam ungkapan-ungkapan metaforis oleh supriyadi, mengungkapkan klasifikasi menurut Halley yang mencakup sembilan jenis kategori, yakni (a) being, (b) cosmos, (c) energy, (d) substance, (e) terrestrial, (f) object, (g) living, (h) animate, dan (i) human.  Dalam simbol energi Energy berupa kategori berpredikasi yang tidak saja ada dan menempati ruang, tetapi juga mempunyai predikasi bergerak dan menggerakan sesuatu, misalnya cahaya, api, angin, ombak, dan seterusnya. Kategori di bawahnya adalah simbol pada ruang persepsi kategori substance, yakni kategori yang selain memiliki predikasi ada, menempati ruang, dan bergerak, ia juga mempanyai sifat lembam, misalnya air, es, udara, hidrogen, oksigen, karbondioksida, dan seterusnya.


C.    Hasil dan Pembahasan Simbol Energi dalam Puisi Sapardi Djoko Damono
       Dari hasil penelitian ini terdapat 102 buah puisi hasil karya Sapardi Djoko Damono, dan terdapat 14 simbol energi dengan jumlah sebanyak 202 yang tersebar dalam dalam kumpulan puisi tersebut. Deskripsi simbol energi yang terdapat dalam kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono tersebut disajikan dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Deskripsi Simbol Energi
No
Simbol Energi
Jumlah Yang Diperoleh
Persentase (%)
1
Hujan
52
25.75
2
Matahari
36
17.82
3
Angin
22
10.90
4
Udara
10
4.95
5
Awan
5
2.47
6
Cahaya
21
10.40
7
Kabut
10
4.95
8
Embun
1
0.50
9
Bintang
7
3.45
10
Gerimis
6
2.97
11
Debu
6
2.97
12
Air
17
8.40
13
Api
8
3.90
14
Gas
1
0.50

Jumlah
202
100%

       Berdasarkan paparan data di atas, terlihat bahwa simbol energi yang paling banyak digunakan oleh Sapardi adalah simbol energi hujan yaitu sebanyak 52 buah kata atau sekitar 25.75 % dari jumlah simbol energi yang ditemukan, yakni sebanyak 202. Selanjutnya yaitu simbol energi matahari, telah ditemukan sebanyak 36 buah kata atau sekitar 17.82 %, kemudian simbol energi angin sebanyak 22 buah kata atau sekitar 10.90 %. Kemudian adalah simbol energi udara dan kabut yakni sebanyak sepuluh buah atau sekitar 4.95%, simbol awan yang digunakan sebanyak lima buah atau sekitar 2.47 %, dan simbol cahaya sebanyak 21 buah atau sekitar 10.40 %. Selain itu simbol yang digunakan lagi adalah simbol bintang sebanyak tujuh buah atau sekitar 3.45 %, simbol energi gerimis dan debu sebanyak enam buah atau sekitar 2.97, simbol energi air sebanyak 17 buah atau 8.40 %, dan simbol energi api sebanyak delapan buah atau 3.90 %. Simbol energi yang paling sedikit digunakan adalah simbol energi embun dan gas, yakni sebanyak satu buah atau sekitar 0.50 %.


a.      Simbol Energi Hujan
Simbol energi hujan yang digunakan oleh penyair tersebut dapat melambangkan harapan, ketabahan, kebijakan, dan kearifan. Adapun simbol energi hujan tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini

Di luar hujan pun masih kudengar
(Sajak Desember. Baik 2, larik 6)

Tentang hal itu? Hujan pun sudah selesai
(Sehabis Mengantar Jenazah. Bait 1, larik 2)

Hujan turun sepanjang jalan
Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
(Hujan Turun Sepanjang Jalan. Bait 1, larik 1,2)

Hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
(Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan!. Bait 2, larik 6)

Ketika hujab tiba. Kudengar bumi sediakala
(Dalam Doa: I. Bait 2, larik 6)

Dan serbuk-serbuk hujan
 (Pertemuan. Bait 3, larik 9)

Apakah yang kautangkap dari suara hujan ...
Ia memimpikan hubungan gaib antara tanah dan hujan,
Pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,
(Hujan dalan Komposisi, 1. Bait 1,2,3, larik 1,4,7)

Apakah yang kita harapkan dari hujan?
(Hujan dalam Komposisi, 2. Bait 1, larik 1)

Dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan
(Hujan dalam Komposisi, 3. Bait 1, larik 1)

“hai, ini sudah jam berapa?”
“kalau hujan sudah jatuh nanti”
(Iring-iringan dibawah Matahari. Bait 8, larik 47)

Jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan.
Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan,
Yang meleleh dalam senandung hujan,
(Di beranda Waktu Hujan. Bait 1,3, larik 5, 19, 27)

Adakah hujan sudah reda sejak lama?
(Cahaya Bulan Tengah Malam. Bait 1, larik 2)

Rahang-rahang langit kalau hampir hujan
Hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan
(Catatan Masa Kecil, 2. Bait 2, larik 14,19)

 Nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita
(Sajak, 1. Bait 1, larik 3)

Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung,
Kau hujann memang suka seba kelam serba gaib serba suara desah;
(Percakapan Malam Hujan. Bait 1,2, larik 1,4)

Berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta
(Sepasang Sepatu Tua. Bait 1, larik 3)

Tunduk sepanjang lorong itu. Ia ngin pagi itu hujan turun
Menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
(Pada Suatu Pagi Hari. Bait 1,2, larik 2, 8)

Daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan berisik, mengganggu hujan!”
Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam
(Puisi Cat Air Untuk Rizki. Bait 2,3, larik 5,6)

Kuhentikan hujan
Dendam yang dihamilkan hujan
(Kuhentikan Hujan. Bait 1,2, larik 1,6)

Hujan mengenal baik pohon, jalan,
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
(Sihir Hujan. Bait 1,2, larik 1,5)

Dari hujan bulan juni
(Hujan Bulan Juni. Bait 1,2,3, larik 2, 6, 10)

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Aku Ingin. Bait 2, larik 6)

Hujan turun semalaman. Paginya
(Hujan, Jalak, dan Daun Jambu. Bait 1, larik 1)

Yang suka menyapa hujan
(Terbangnya Burung. Bait 1, larik 6)




b.      Simbol Energi Matahari
       Simbol energi matahari yang digunakan oleh penyair tersebut dapat melambangkan kematangan, berani, semangat, berani, kuat, aktif, kokoh, dan sebagainya. Adapun simbol energi matahari tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

kita tidak berhak tengadah ke matahari
kita hanya akan menyihir alam: matahari akan menjelma api
kita tak berhak tengadah kematahari
(Di Pemakaman. Bait 1, larik 4,5,8)

                 Di atas: matahri kita, matahari itu juga
(Berjalan di Belakang Jenazah. Bait 2, larik 6)

Di bawah bunga-bunga menua, matahri yang senja
(Sehabis Mengantar Jenazah. Bait 1, larik 4)

Bagaimana matahari memulas warna-warni, sambil
(Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan. Bait 3, larik 10)

Hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari
(Pertemuan. Bait 2, larik 7)

Matahari di depan pintu. Bayang-banyangmu
Sepanjang matahari, berdesakan bayang-banyang
Di bawah matahari purba
Iring-iringan bunga, iring-iringan bangkai: matahari
Dan matahari; sebelum tikungan
Melihat arloji, atau menerka letak matahari,
Yang keriput di bwah matahari, gugup
Tinggal matahari. Dicucinya angkasa
Tinggal matahari. Sementara kau menoleh:
Kini matahari. Kau sepenuhnya sendiri
(Iring-iring di Bawah Matahari. Bait 1..., larik 1...)

Selamat pagi pertama bagi matahari, tisau bergerak-gerak
(Variasi Pada Suatu Pagi. Bait 3, larik 11)

Kausebut kenanganmmu nyanyian (dan bukan matahari
Yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah,
(Di beranda Waktu Hujan. Bait 1,3, larik 1, 26)

Matahari menggeliat dan kembali gugur
(Kartu Pos Bergambar: Jembatan Golden Gate, San Fransisco. Bait 1, larik 3)

Matahari yang di atas kepalamu itu
“ini matahari! Ini matahri!” --
Matahari itu? Ia memang di atas sana
(Tentang Matahari. Bait 1, larik 1,9,10)

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku dibelakang
Aku dan matahari tidak bertengkar tetang siapa di antaa kami
(Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari. Bait 1, larik 1,3)

Senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara
(Telur, 2. Bait 1, larik 3)

Kuhentikan hujan. Kini matahari
Merindukanku,
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari
(Kuhentikan Hujan. Bait 1, larik 1,5,6)

Ia pandang sekeliling: matahari yang hilang-timbul di sela goyang
(Di Atas Batu. Bait 1, larik 3)

Matahari dan warna bunga-bunga
(Angin, 3. Bait 1, larik 6)

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
(Dalam Doaku. Bait 2, larik 5)


c.       Simbol Energi Angin
Simbol energi angin yang digunakan oleh penyair tersebut dapat melambangkan sifat kreatif yang menghasilkan kualitas yang murni dan suci. Adapun simbol energi angin tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Angin berhenti. Aku pun membalasmu selamat pagi
(Dipemakaman. Bait 1, larik 3)
Berjalan di belakang jenazah angin pun reda
(Berjalan di Belakang Jenazah. Bait 1, larik 1)

Tatkala angin basah tak ada bermuat debu
(Hujan Turun Sepanjang Jalan. Bait 2, larik 7)

Batang-batang cemara
Angin
(Ziarah. Bait 1, larik 27)

Semakin membara sewaktu berhembus angin
(Dalam Doa: I. Bait 2, larik 8)

Bergegas naik-turun tangga. Siut angin
Tiba-tiba angin kemarau
Sebab kata dipermainkan angin kemarau
(Iring-iring di Bawah Matahari. Bait 1..., larik 4...)

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
(Narcissus. Bait 2, larik 5)

Bunga terka-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin
Menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin
Bunga lalu tersungkur pada angin dan terbawa sampai
(Catatan Masa Kecil, 2. Bait 1,2, larik 6,7,11)

Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telepon
Kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut
Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan
(Puisi Cat Air Untu Rizki. Bait 1, larik 1,4,5)

dan angin yang panjang nafasya; aku
(Lirik Untuk Improvisasi Jazz. Bait 1, larik 7)

“Seandainya aku bukan ...” tapi aku angin
“seandainya aku ...” tapi aku angin
“seandainya ...” tapi aku angin
(Angin, 3. Bait 1, larik 1,4,7)
Muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
(Dalam Doaku. Bait 2,4, larik 8,13)


d.      Simbol Energi Udara
Simbol energi udara yang digunakan oleh penyair tersebut dapat melambangkan segala bentuk tentang hidup dan kehidupan yang aktif dan kreatif. Adapun simbol energi udara tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Kita saksikan burung-burung lintas di udara
(Kita Saksikan. Bait 1, larik 1)

Bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh
(Pertemuan. Bait 3, larik 11)

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara
(Hujan dalam Komposisi, 2. Bait 1, larik 2)

Sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara
(Malam Itu Kami Disana. Bait 3, larik 2)

Yang pelahan mengedap di udara kau sebut cintamu
(Di Beranda Waktu Hujan. Bait 2, larik 11)

Udara malam jahat sekali perangainya
(Catatan Masa Kecil, 3. Bait 1, larik 10)

Gelembung udara adalah kaca adalah ...
(Akuarium. Bait 1, larik 5)

Senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara
(Telur 2. Bait 1, larik 3)

Ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
(Bunga, 3. Bait 11, larik 2)

“terjulah Sita,” bentak-Mu
“agar udara, air, api, dan tanah kembali murni
(Sita Sihir. Bait 2, larik 14)

e.       Simbol Energi Awan
       Simbol energi awan yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan subuah sifat yang memberikan kesuburan atau membawakan pesan, dan memiliki sifat perantara antara yang forml dan yang nonformal. Adapun simbol energi awan tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
(Kita Saksikan. Bait 1, larik 2)

Siapa meretas di awan lalu
(Sonet:x. Bait 1, larik 2)

Tidak ada celah awan, tidak di sela-sela sayap malaikat
(Tiga Lembar Kartu Pos. Bait 1, larik 4)

Awan kepada hujan tang menjadikannya tiada
(Aku Ingin. Bait 2, larik 6)

f.       Simbol Energi Cahaya
Simbol energi cahaya yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan perwujudan, spirit, moralitas, keunggulan, kebaikan, dan intelektual. Adapun simbol energi cahaya tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya
(Pada Suatu Malam. Bait 1, larik 6)

Kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya
(Dalam Doa: I. Bait 1, larik 1)

Terjebak juga bayang-bayang Cahaya
(Dalam Doa: III. Bait 2, larik 7)

Cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
Bulu-bulu cahaya: betapa parah
(Ketika Jari-jari Bunga Terbuka. Bait 1,3, larik 4,10)

Cahaya yang lain, siapakan?
(Sajak Perkawinan. Bait 1, larik 1)

Cahaya ini, memantul di keranda, memericik...
Cahaya menyilaukan itu (yang selalu terucap
Hanya cahaya gilang-gemilang
Sebab mata berkedip di cahaya silau
(Iring-iringan di Bawah Matahari. /2/, /4/, /6/)

Cahaya bertebaran dai sekitarmu
(Cahaya Bertebaran. Bait 1, larik 1)

Dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama)
Bernyanyi bagi capung, kupu-kupu, dan bunga; cahaya
(Variasi Pada Suatu Pagi. bait 2, larik 5,6)

Aku terjaga di kursi ketika cahay bulan jatuh di wajahku dari genting kaca
(Cahaya Bulan Tengah Malam. Bait 1, larik 1)

Dan cahaya matahari
(Kuhentikan Hujan. Bait 1, larik 7)

Sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya
(Angin,3. Bait 2, larik 5)

Setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela
(Cara Membunuh Burung. Bait 1, larik 5)

Menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena
(Dalam Doaku. Bait 1, larik, 3)

g.      Simbol Energi Kabut
Simbol energi kabut yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan sebuah rintangan, halangan, dan cobaan yang harus dihadapi. Adapun simbol energi kabut tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
(Ketika Jari-jari Buanga Terbuka. Bait 1, larik 4)

(Malam berkabut seketika); barangkali menjemputku
(Kupandang Kelam Yang Merapat ke Sisi Kita. bait 1, larik 3)

Sebermula adalah kabut; dan dalam kabut
(Variasi Pada Suatu Pagi. Bait 1, larik 1)

Kabut yang likat dan kabut yang pupur
(Kartu Pos Bergambar. Bait 1, larik 1)

Mendadak kau mengabut dalam kamar, mncari-cari dalam cermin;
(Cermin,2. Bait 1, larik 1)

Merindukanku, mengangkat kabut bagi pelahan –
(Kuhentikan Hujan. Bait 1, larik 1)

h.      Simbol Energi Embun
Simbol energi embun yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan kesegaran, kecantikan, keindahan alami, harapan. Adapun simbol energi embun tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Yang menaruh embun di daun
(Terbangnya Burung. Bait 1, larik 8)

i.        Simbol Energi Bintang
Simbol energi bintang yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan harapan, nasib baik, keabadian, dan semangat. Adapun simbol energi bintang tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya.
(Pada Suatu Malam. Bait 8)

Lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa
(Catatan Masa Kecil,3. Bait 1, larik 2)

Suratmu dulu itu entah dimana, tidak di antara bintang-bintang
(Tiga Lembar Kartu Pos. Bait 1, larik 3)

Telah bermantel sianr bintang-bintang
(Lirik Untuk Improvisasi Jazz. Bait 1, larik 6)

j.        Simbol Energi Gerimis
Simbol energi gerimis yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan kerinduan, harapan, dan kebersamaan. Adapun simbol energi gerimis tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

waktu dingin, sepi grimis tiba-tiba
(Gerimis Kecil di Jalan Jakata, Malang. Bait 1, larik 2)

Lekat dan grimis pada tiang-tiang jembatan
(Kartu Pos Bergambar. Bait 1, larik 2)

Jangan pejamkan matamu; aku ingin tinggal di hutan yang gerimis-
Aku akan berhambur dalam grimis dalam seru butir air dalam
(Lirik Untuk Lagu Pop. Bait 1, larik 1,8)

Mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
(Dalam Doaku. Bait 3, larik 10)

k.      Simbol Energi Debu
Simbol energi debu yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan sebuah penghalang, rintangan, hambatan dan sejenisnya. Adapun simbol energi debu tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Pada debu, cinta yang tinggal berupa
(Sementara Kita Saling Berbisik. Bait 1, larik 3)

Tatkala angin basah tak ada bermut debu
(Hujan Turun Sepanjang Jalan. Bait 2, larik 7)

Debu dan sobekan-sobekan kertas
Yang sejak dulu menyisir debu, sobekan-sobekan
(Iring-iringan di Bawah Matahari /3/, /4/)

Yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan
Membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman
(Di Beranda Waktu Hujan. Bait 1,2, larik 2,13)

l.        Simbol Energi Air
Simbol energi air yang digunakan oleh penyair tersebut dapat melambangkan segala bentuk kehidupan yang jantan, kreatin, dan aktif. Adapun simbol energi air tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Perempuan mengirim air matanya
(Pertemuan. Bait 1, larik 1)

Kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?
Memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari
(Hujan dalam Komposisi,1. Bait 1, larik 3,8)

Cemaskah aku kalau nanti air bening kembali?
(Narcissus. Bait 2, larik 7)

Yang pertama kali. Mereka bilang sumur mati itu tak pernah keluar airnya
(Catatan Masa Kecil,1. Bait 1, larik 8)

Hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan
Tiba-tiba mengepunya dan melemparkannya ke air
(Catatan Masa Kecil,2. Bait 2, larik 19,21)

“Aku adalah air”, teriakmu. “Adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah ...”
(Akuarium. Bait 1, larik 5)

Mengapung di permukaan air beningyang mengalir tenang --
(Sehabis Suara Gemuruh. Bait 1, larik 3)

Bercakap. Kalau kebetulan di bawahnya air dari gunung
Muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi
(Muara. Bait 1,2, larik 2,9)

Pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri
Aku akan berhamburan dalam gerimis dalam seru butir air dalam
(Lirik Untuk Lagu Pop. Bait 1,3, larik 2,8)

Ia gerak-gerakan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana-kemari
( Di Atas Batu. Bait 1, larik 2)

Agar udara, air, api, dan tanah,
(Sita Sihir. Bait 2, larik 14)

I hidup dari mata air
Dan mata air, dengan tulus
(Maut. Bait 1,2, larik 2,11)

m.     Simbol Energi Api
Simbol energi api yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan sebuah kemarahan, keberanian, dan menantang. Adapun simbol energi api tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
(Sementara Kita Saling Berbisik. Bait 2, larik 7)
Orang itu membuat api di tanah lapang agar terbakar
(Kepada I Gusti Ngurah Bagus. Bait 1, larik 9)

Dan ia membayangkan hutan terbakar dan setengah api ...
(Bunga,1. Bait 2, larik 13)

Kayu kepada api yang menjadikannya abu
(Aku Ingin. Bait 3, larik 3)

Memahami api yang tak hendak surut
(Sajak-Sajak Empat Seuntai. Bait 3, larik 12)

Langit yang tak luntur dinding-birunya; dan di bawah : api
“agar udara, air, api, dan tanah, kembali murni.”
(Sita Sihir. Bait 1, larik 10,14)


n.      Simbol Energi Gas
Simbol energi gas yang digunakan oleh penyair tersebut melambangkan sebuah kekuatan, energi dan sejenisnya. Adapun simbol energi gas tersebut dapat ditemukan pada larik-larik puisi berikut ini.

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
(Tentang Matahari. Bait 1, larik 2)


SIMPULAN

       Berbagai bentuk simbol, terlebih untuk simbol energi tidak dapat dipisahkan dari puisi-puisi sang penciptanya. Terbukti bahwa dari 102 puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” oleh Sapardi Djoko Damono, terdapat sebanyak 14 jenis simbol energi yang tersebar dalam seluruh puisi tersebut. Simbol-simbol energi tersebut terurai lagi menjadi 202 dalam berbagai jenis simbol tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan terlihat bahwa penyair ini lebih dominan menggunakan simbol energi “Hujan” yaitu sebanyak 25,75 % dari simbol-simbol energi yang lain.